Penalaran deduktif
adalah suatu penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau
diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang
bersifat lebih khusus. Metode ini diawali
dari pebentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan
operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu
harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya
dilakukan penelitian di lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif
tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala.
Contoh :
Sebuah sistem generalisasi.
Laptop adalah barang
eletronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperasi, DVD Player adalah
barang elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperasi,
Generalisasi : semua barang
elektronik membutuhkan daya listrik untuk beroperasi.
Deduksi ialah proses
pemikiran yang berpijak pada pengetahuan yang lebih umum untuk menyimpulkan
pengetahuan yang lebih khusus.
Bentuk standar dari penalaran
deduktif adalah silogisme, yaitu proses penalaran di mana dari dua proposisi
(sebagai premis) ditarik suatu proposisi baru (berupa konklusi)
Bentuk silogisme
·
Silogisme kategoris: terdiri dari proposisi-proposisi kategoris.
·
Silogisme hipotesis: salah satu proposisinya berupa proposisi
hipotesis.
Misalnya:
Premis 1 : Bila hujan, maka
jalanan basah
Premis 2 : Sekarang hujan
Konklusi : Maka jalanan
basah.
Bandingkan dengan jalan
pikiran berikut:
Premis 1 : Bila hujan, maka
jalanan basah
Premis 2 : Sekarang jalanan
basah
Konklusi : Maka hujan.
Silogisme Standar
Silogisme kategoris standar =
proses logis yang terdiri dari tiga proposisi kategoris.
Proposisi 1 dan 2 adalah
premis
Proposisi 3 adalah konklusi
Contoh:
“Semua pahlawan adalah orang
berjasa
Kartini adalah pahlawan
Jadi: Kartini adalah orang
berjasa”.
Kesimpulan hanya dicapai
dengan bantuan proposisi dua
Jumlah term-nya ada tiga, yakni: pahlawan, orang berjasa dan Kartini.
Masing-masing term digunakan dua kali.
Sebagai S, “Kartini”
digunakan 2 kali (sekali di premis dan sekali di konklusi)
Sebagai P, “orang berjasa”
digunakan 2 kali (sekali di premis dan sekali di konklusi)
Term “pahlawan”, terdapat 2 kali
di premis, tapi tidak terdapat di konklusi.
Term ini disebut term tengah (M, singkatan dari terminus medius). Dengan bantuan termtengah inilah konklusi
ditemukan (sedangkan term tengah sendiri hilang dalam
konklusi).
Term predikat dalam kesimpulan
disebut term mayor, maka premis yang mengandungterm mayor disebut premis mayor (proposisi universal), yang
diletakkan sebagai premis pertama.
Term subyek dalam kesimpulan
disebut term minor, maka premis yang mengandungterm minor disebut premis minor (proposisi partikular), yang
diletakkan sebagai premis kedua.
Term mayor akan menjadi term predikat dalam kesimpulan;
sedangkan term minor akan menjadi term subyek dalam kesimpulan
Dengan demikian, kesimpulan
dalam sebuah silogisme adalah atau “S = P” atau “S ¹ P”. Kesimpulan itu
merupakan hasil perbandingan premis mayor(yang mengandung P) dengan premis minor (yang
mengandung S) dengan perantaraan term menengah (M).
Karena M = P; sedang S = M;
maka S = P
Premis mayor M = P M = term antara
Premis minor S = M P = term mayor
Kesimpulan S = P S = term minor
Hukum-hukum Silogisme
a. Prinsip-prinsip Silogisme
kategoris mengenai term:
1.
Jumlah term tidak boleh kurang atau lebih
dari tiga
2.
Term menengah
tidak boleh terdapat dalam kesimpulan
3.
Term subyek
dan term predikat dalam kesimpulan
tidak boleh lebih luas daripada dalam premis.
4.
Luas term menengah sekurang-kurangnya
satu kali universal.
b. Prinsip-prinsip silogisme
kategoris mengenai proposisi.
1.
Jika
kedua premis afirmatif, maka kesimpulan harus afirmatif juga.
2.
Kedua
premis tidak boleh sama-sama negatif.
3.
Jika
salah satu premis negatif, kesimpulan harus negatif juga (mengikuti proposisi
yang paling lemah)
4.
Salah
satu premis harus universal, tidak boleh keduanya pertikular.
Bentuk Silogisme
Menyimpang
Dalam praktek penalaran tidak
semua silogisme menggunakan bentuk standar, bahkan lebih banyak menggunakan
bentuk yang menyimpang. Bentuk penyimpangan ini ada bermacam-macam. Dalam
logika, bentuk-bentuk menyimpang itu harus dikembalikan dalam bentuk standar.
Contoh:
“Mereka yang akan dipecat
semuanya adalah orang yang bekerja tidak disiplin. Kamu kan bekerja penuh
disiplin. Tak usah takut akan dipecat”.
Bentuk standar:
“Semua orang yang bekerja
disiplin bukanlah orang yang akan dipecat.
Kamu adalah orang yang
bekerja disiplin.
Kamu bukanlah orang yang akan
dipecat”.
Sumber:
Hs, Widjono (2007). Bahasa Indonesia Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Jakarta: Grasindo.
Hs, Widjono (2007). Bahasa Indonesia Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Jakarta: Grasindo.
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/filsafat_ilmu/bab6-penalaran.pdf
http://ati.staff.gunadarma.ac.id/
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/11/204439/
0 comments:
Post a Comment